Berita Populer
Dewan Kesenian Dan Kebudayaan Gelar Ngawangkong Budaya Bareng YSK
BOGOR – Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Bogor bekerjasama dengan Yayasan Satu Keadilan menggelar kegiatan Ngawangkong Kebudayaan Sunda Urang Bogor, di Joglo Keadilan, Jl. Parakan Salak, Kemang, Kabupaten Bogor, Kamis (26/10/17).
Selain dihadiri 100 pekerja seni dan budaya yang berasal dari beberapa wilayah yang ada di Kabupaten Bogor, turut pula hadir dan melakukan dialog dalam kegiatan tersebut, Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Fajar Riza Ul Haq.
Di hadapan pelaku seni dan kebudayaan se-Kabupaten Bogor, Fajar Riza Ul Haq menyampaikan, kebijakan kebudayaan yang jitu merupakan alat yang paling efektif untuk menyatukan masyarakat dengan menekankan kembali pentingnya aras kebudayaan sebagai salah satu penangkal jitu paham ektremisme yang mensiarkan permusuhan.
Fajar memaparkan, Indonesia sesungguhnya telah memiliki regulasi terkait dengan pemajuan dan perlindungan kebudayaan, melalui UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Namun sayangnya, banyak masalah yang sudah terlihat bakal muncul pada tataran implementasinya. Misalnya, sudah terlihat dari rumusan UU tersebut bahwa perhatian yang paling besar diberikan justru kepada apa yang disebut ‘tradisi’, bukan kepada problematika kebudayaan kekinian. Seolah-olah, kebudayaan daerah dianggap sebagai pemanis untuk kepentingan pariwisata, tidak lebih dari itu.
Lebih jauh, Fajar mengusulkan agar masyarakat seni dan kebudayaan melakukan suatu upaya untuk mendokumentasikan memori-memori lokal yang termuat dalam kebudayaan-kebudayaan daerah. Salah satu jalannya ialah dengan membuat digital museum sebagai upaya pendokumentasian yang memanfaatkan kemajuan teknologi.
“Hal ini diperlukan, tanpa melakukan hal tersebut, memori lokal terancam terhapus dengan sangat cepat. Kita harus mendayagunakan teknologi seperti aplikasi untuk pemajuan budaya” ujar Fajar.
Fajar menilai, justru di sinilah letak penting kebudayaan lokal sebagai salah satu sarana jitu melawan paham ekstremisme yang kini membelah masyarakat. Memori kultural lokal tidak selalu menyangkut masa lalu yang kadaluwarsa. Lebih dari itu, ia mengandung simbol-simbol yang selama ini telah terbukti menjamin keberlangsungan kebersamaan dan toleransi di Indonesia. Namun bila melihat hari ini, toleransi yang sesungguhnya merupakan kearifan lokal tersebut nyatanya kian tergerus.
“Suatu paradoks, 40 tahun lalu di mana masyarakat kita mungkin masih banyak yang ‘buta huruf’, umumnya justru lebih toleran dan berkebudayaan adiluhung. Apa sarananya? Teater, wayang, tutur dan kitab kuning, kidung, pantun, syair. Hal-hal ini menjadi sarana di mana nilai-nilai luhur dan agama diajarkan melalui simbolisme yang canggih.
Kini sebaliknya, sebagian besar orang melek huruf, tetapi kecanggihan kulturalnya justru surut. Mereka tidak lagi mengenyam intisari simbolis dari ajaran-ajaran lama. Sebagai gantinya, mereka merangkul tafsir harfiah atas agama yang sempit, mutlak, dan non-simbolis. Akibatnya ada di depan mata, matinya simbolisme tradisional yang diikuti dengan kebangkitan konservatisme, menilai dengan kacamata hitam-putih. Kemodernan tidak lagi menghasilkan pencerahan, melainkan penyuraman,” papar Fajar.
Fajar juga memberi perhatian khusus bagi kontribusi pemuda. Hari ini pemuda dituntut mampu menjadi pilar kemajuan bangsa dari berbagai aspek. Peran ini merupakan peluang yang harus dimanfaatkan para pemuda untuk membuktikan diri bahwa kehadirannya akan berdampak kepada generasi-generasi mendatang secara terus-menerus.
“Yang lebih penting adalah pemuda terlibat secara pro aktif merawat dan melestarikan kelangsungan keberagaman yang telah terbangun dalam semangat kemanusiaan, kenusantaraan, kebangsaan, dan ke-bineka tunggal ika-an sebagai cultural value bangsa Indonesia,” ucapnya.
Fajar kemudian menyoroti mengenai ketiadaan UU mengenai pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat di Indonesia. Sampai sejauh ini, RUU tersebut masih berada dalam Program Legislasi Nasional 2017 setelah sejak 2012 diperjuangkan. Menurut Fajar, bila RUU ini berhasil diterbitkan sebagai UU, maka ini akan melengkapi konstitusi yang telah kita pakai selama 72 tahun. “Masyarakat adat adalah bagian yang penting dari masyarakat kita karena mereka sudah ada sebelum negara ini dibangun,” kata Fajar.
Sementara Ketua Yayasan Satu Keadilan Sugeng Teguh santoso yang dihubungi lewat sambungan telepon selulernya menyambut positif kegiatan diskusi budaya ini. Pria yang juga bakal calon walikota ini mengatakan, dirinya meminta maaf tak bisa hadir dalam kegiatan budaya tersebut, pasalnya ada pekerjaan yang harus diselesaikan diluar kota.
Menurutnya, YSK sebagai rumah bersama terbuka untuk siapa saja yang akan menggelar diskusi, terlebih soal budaya. “Tak hanya soal hukum, YSK siap bekerjasama dengan siapapun untuk berkontribusi membangun bangsa,” ujarnya.
Bapak yang akrab disapa STS ini berharap, kegiatan seperti ini akan terus berlanjut agar budaya bangsa ini akan terus terawat dan terjaga. (boy)
-
Berita Populer3 weeks ago
Hanif Faisol Minta Laboratorium Kementerian LH/BPLH Harus Terintegrasi Dan Tersebar
-
Featured3 weeks ago
Menteri LH Hanif Faisol Bakal Stop Impor Sampah Plastik, Importir Bandel Akan Ditindak Tegas
-
Editorial3 weeks ago
Pastikan Ujicoba Jalur Pipa Bogor Barat Berjalan Mulus, Direksi Tirta Pakuan Cek Debit dan Tekanan Air
-
Entertainment1 week ago
Promo KTP Diperpanjang, Masuk The Jungle Hanya 50 Ribuan
Login dulu untuk mengirim komen Login