Berita Arsip
Supremasi Hukum Tidak Boleh Dikalahkan Oleh Supremasi Kerumunan

Komentar Pers, Hendardi, Ketua Setara Institute, 16/1/2017
Supremasi Hukum Tidak Boleh Dikalahkan Oleh Supremasi Kerumunan
JAKARTA – Kontroversi kericuhan antara Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) dan Front Pembela Islam (FPI) di Bandung (12/1) berbuntut kritik dan desakan pencopotan terhadap Kapolda Jabar Irjen Pol. Anton Charliyan yang juga menjadi pembina organisasi GMBI tersebut.
Perlu ditegaskan bahwa pemeriksaan atas Rizieq Shihab yang menjadi pemicu kericuhan itu adalah proses hukum biasa yang semestinya tidak perlu melibatkan massa. Baik massa pendukung Terperiksa ataupun massa pendukung Pelapor, karena itu biarkan proses hukum berlangsung sebagaimana mestinya. Sementara kericuhan adalah fakta yang muncul di tengah kerumunan massa yang saling berhadapan, dan siapapun pelaku kekerasan itu harus diproses secara hukum.
Beberapa orang yang diduga anggota GMBI harus diperiksa secara profesional. Demikian juga massa FPI baik yang melakukan kekerasan di Bandung maupun yang diduga melakukan pembakaran Sekretariat GMBI di Bogor (13/1) juga harus diproses secara hukum. Dengan jalan ini, supremasi hukum akan menjadi wasit yang adil bagi semua pihak.
Supremasi hukum tidak boleh ditundukkan dengan supremasi kerumunan dan supremasi intoleransi yang saat ini menguasai ruang publik. Supremasi intoleransi yang dipertontonkan FPI dan tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota GMBI sama-sama tidak diperkenankan dalam negara hukum. Dengan cara pandang yang demikian, tidak relevan pula FPI kembali ramai-ramai berdemonstrasi mendesak pencopotan Anton Charliyan dari jabatannya sebagai Kapolda Jabar juga Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. M. Iriawan dan belakangan juga Kapolda Kalbar Irjen Pol. Musyafak.
Bahwa ada aspirasi ketidakpuasan dan diekspresikan dalam bentuk demonstrasi dengan tuntutan pencopotan, itu sesuatu yang biasa dan dijamin oleh Konstitusi. Tetapi ancaman dan ultimatum yang disebarluaskan oleh kelompok FPI di ruang publik yang mengiringi desakan pencopotan Anton Charliyan, merupakan teror atas ketertiban sosial yang destruktif. Kapolri diharapkan bertindak proporsional dan profesional atas desakan FPI ini. Jika aspirasi ini dituruti, maka tesis bahwa supremasi intoleransi telah menguasai ruang publik dan mempengaruhi pergantian jabatan publik akan semakin terbukti. Tindakan itu akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola organisasi negara, seperti institusi Polri.
Terhadap Anton Charliyan yang menjadi pembina organisasi GMBI, perlu ditegaskan bahwa bagi seorang pejabat, menjadi pembina organisasi adalah sesuatu yang wajar dan lumrah. Ada banyak pejabat menjadi pembina dan pengurus organisasi kemasyarakatan, baik itu organisasi kesehatan, hobby, olahraga, maupun ormas. Jadi tidak ada hubungan antara kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang, kemudian dia tidak boleh menjadi pembina organisasi. Apa yang disampaikan oleh Benny K. Harman (16/1) terkait posisi Anton Charliyan misalnya, bahwa aktif berorganisasi merupakan pelanggaran UU, adalah berlebihan. Sepanjang tidak ada konflik kepentingan yang menguntungkan, maka aktif berorganisasi adalah sesuatu yang wajar.
Jakarta, Senin 16 Januari 2017
Terima kasih.
Hendardi, Ketua Setara Institute
-
Berita Terbaru3 minggu ago
Warga BNR Tolak Pembangunan Binatu Skala Industri di Mall The Jungle
-
Berita Terbaru4 minggu ago
Temukan Pelanggaran, Kementerian Lingkungan Hidup Lakukan Pengawasan Perusahaan Tambang Nikel di Raja Ampat
-
Berita Terbaru4 minggu ago
PWI Kota Bogor Sembelih 8 Hewan Kurban, Simbol Solidaritas dan Kepedulian Sosial
-
Berita Terbaru4 minggu ago
Polresta Bogor Kota Ungkap Kasus Narkoba Selama 2 Bulan, Puluhan Tersangka dan Barang Bukti Diamankan
Login dulu untuk mengirim komen Login