Berita Arsip
PARADOKS PERDA KOTA BOGOR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG KTR TERHADAP PENGENDALIAN TEMBAKAU DENGAN RUU PERTEMBAKAUAN
Oleh :
Sdr. Erni Yuniarti,SKM
Seksi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Dinas Kesehatan Kota Bogor
Kota Bogor – Kebiasaan merokok sudah meluas di hampir semua kelompok masyarakat di Indonesia khususnya di Kota Bogor dan cenderung meningkat, terutama di kalangan anak dan remaja sebagai akibat gencarnya promosi rokok di berbagai media massa. Hal ini memberi makna bahwa masalah merokok telah menjadi semakin serius, mengingat merokok beresiko menimbulkan berbagai penyakit atau gangguan kesehatan yang dapat terjadi baik pada perokok itu sendiri maupun orang lain di sekitarnya yang tidak merokok (perokok pasif) terutama bagi bayi dan anak-anak yang memiliki kerentanan tinggi apabila tidak memperoleh perlindungan yang memadai.
Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan rokok bagi kesehatan dan juga membatasi ruang gerak para perokok, diantaranya melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Hak untuk menghirup udara bersih tanpa paparan asap rokok telah menjadi perhatian dunia. WHO memprediksi penyakit yang berkaitan dengan rokok akan menjadi masalah kesehatan dunia. Dari tiap 10 orang dewasa yang meninggal, 1 diantaranya meninggal disebabkan asap rokok. Dari data terakhir WHO di tahun 2004 ditemui sudah mencapai 5 juta kasus kematian setiap tahunnya serta 70% terjadi di negara berkembang, termasuk didalamnya di Asia dan Indonesia. Di tahun 2025 nanti, jumlah perokok dunia 650 juta makan akan ada 10 juta kematian per tahun.
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok menjadi salah satu alasan sulitnya penetapan KTR, yang ditunjukkan dengan mulai merokok pada kelompok 5-9 tahun. Konsumsi rokok paling tinggi terjadi pada kelompok umur 15-24 tahun dan konsumsi terendah kelompok umur 75 tahun ke atas. Hal ini berarti kebanyakan perokok adalah generasi muda atau usia produktif.
Masalah merokok sampai saat ini masih menjadi masalah nasional yang perlu secara terus-menerus diupayakan penanggulangan, karena menyangkut berbagai aspek permasalahan dalam kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, politik, utamanya aspek kesehatan. Diperkirakan lebih dari 40,3 juta anak tinggal bersama dengan perokok dan terpapar asap rokok di lingkungannya. Sedangkan kita tahu bahwa anak yang terpapar asap rokok dapat mengalami peningkatan resiko terkena bronkitis, pneumonia, infeksi telingan tengah, asma serta kelambatan pertumbuhan paru-paru.
Kerusakan kesehatan dini ini dapat menyebabkan kesehatan yang buruk pada masa dewasa. Orang dewasa bukan perokok pun yang terus-menerus terpapar juga akan mengalami peningkatan resiko kanker paru dan jenis kanker lainnya.
Penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan salah satu upaya Pemerintah dalam rangka pengamanan terhadap bahaya rokok, membatasi ruang gerak para perokok, serta melindungi perokok pasif. Hal tersebut seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 115 ayat (1) dan Pasal 115 ayat (2) dimana Pemerintah Daerah wajib menetapkan dan menerapkan KTR di wilayahnya. Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat atau ruangan yang dinyatakan dilarang untuk merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok.
Sejak tahun 2009 Kota Bogor telah mempunyai Peraturan Daerah No 12 Tahun 2009 tentang KTR (Kawasan Tanpa Rokok) serta Peraturan Walikota Bogor No. 7 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) tentang KTR. Ada 8 (delapan) kawasan yang ditetapkan sebagai KTR sesuai Peraturan Daerah tersebut, yaitu : tempat umum, tempat kerja, tempat ibadah, tempat bermain anak dan/atau berkumpulnya anak-anak, kendaraan angkutan umum, lingkungan tempat proses belajar mengajar, sarana kesehatan, dan sarana olah raga.
Hasil kegiatan Tipiring, monitoring, dan sidak KTR yang telah dilakukan pada rentang Mei 2010 s.d. Desember 2016 membuktikan bahwa penerapan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Bogor masih belum optimal terlihat dengan masih ditemukannya pelanggar KTR di 8 Tatanan, seperti ditemukan orang merokok di KTR, ada tempat merokok yang tidak sesuai Perwali No.7 Tahun 2010, tidak ada tanda KTR, tersedia asbak, tercium asap rokok, dan ada penjualan rokok display serta promosi rokok. Tetapi apabila dibandingkan dengan sebelum ada Perda KTR sudah banyak perubahan, misalnya di rapat-rapat formal pemerintahan sudah bersih dari rokok demikian juga di rapat-rapat formal DPRD (paripurna), di sekolah-sekolah sudah tidak ada guru yang mengajar sambil merokok, di beberapa Hotel, Restoran, pasar tradisional sudah menerapkan aturan tentang KTR.
Selanjutnya terkait iklan, promosi dan reklame rokok, Pemerintah Kota Bogor telah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Walikota No.3 Tahun 2014 tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Rokok di Seluruh wilayah Kota Bogor yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reklame, di mana Pasal 8 ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap penyelenggara reklame dilarang menyajikan naskah reklame yang mengandung bahan zat adiktif berupa produk tembakau dan minuman keras/beralkohol”.
Dari data Dispenda menunjukkan bahwa dari tahun 2008 dengan jumlah reklame rokok sebanyak 372 buah s/d tahun 2016 tidak ada iklan rokok di Kota Bogor jumlah PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kota Bogor terus meningkat. Ini membuktikan bahwa tidak adanya iklan rokok di Kota Bogor tidak berpengaruh terhadap PAD Kota Bogor. Komitmen pemerintah Kota Bogor telah terbukti dengan gagalnya penyelenggaraan Turnamen Bulutangkis Djarum pada Tahun 2015.
Selain itu, berdasarkan hasil sidak KTR, monitoring serta tindak pidana ringan (Tipiring) yang telah dilakukan rutin oleh Tim Pembina KTR Kota beserta LSM peduli KTR, sebagian besar tempat kerja pemerintah belum menerapkan KTR dengan baik, karena masih ditemukan beberapa pimpinan institusi pemerintah melakukan pelanggaran, baik sengaja maupun tidak sengaja, seperti pembiaran adanya karyawan atau pengunjung/tamu merokok di tempat kerja, menyediakan tempat khusus merokok yang tidak sesuai Perwali, menyediakan asbak di setiap meja kerja/meja tamu, tidak menolak penjualan/reklame/iklan rokok sampai membiarkan tanda-tanda KTR rusak. Padahal, para pimpinan SKPD sudah berkomitmen dan menandatangani PAKTA INTEGRITAS penerapan KTR di hadapan Bapak Walikota Bogor pada tanggal 10 Juni 2014 tetapi kenyataannya di lapangan masih belum sesuai dengan yang diharapkan bahkan beberapa Pimpinan seakan kurang peduli dan menganggap KTR tidak menjadi prioritas.
Kondisi tersebut tentu saja menjadi sorotan dan kekecewaan masyarakat, karena aparat pemerintah seharusnya menjadi contoh dan teladan serta terlebih dahulu menerapkan KTR. Beberapa kasus malah memperlihatkan beberapa penegak Perda KTR juga melakukan pelanggaran. Oleh karena itu perlu komitmen yang kuat dan kesungguhan hati serta semangat untuk bersama-sama mewujudkan 100% KTR di Kota Bogor terutama fokus di tempat-tempat kerja pemerintah. Kawasan Tanpa Rokok tidak melarang pimpinan/karyawan/pengunjung/tamu untuk merokok tetapi mengatur etika merokok, merokok pada tempat yang telah ditentukan, melindungi perokok pasif, menciptakan lingkungan kerja yang bersih, sehat dan nyaman serta mencegah perokok pemula.
Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam upaya pengendalian tembakau tersebut di atas diperburuk dengan:
Peraturan Menteri Perindustrian No. 63 Tahun 2015 mengenai Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) Tahun 2015–2020. Peraturan ini mengatur rencana sasaran, strategi dan kebijakan Nasional dan program industri hasil tembakau yang mencabut Peraturan Menteri Perindustrian No. 117 Tahun 2009. Peraturan terakhir ini mengatur pembatasan produksi rokok, yaitu 260 miliar batang antara tahun 2015–2020. Peta jalan tersebut juga mencerminkan terjadinya pembuatan kebijakan untuk pertumbuhan ekonomi yang dilakukan tanpa memperhitungkan dampaknya .
RUU Pertembakauan yang saat ini sedang digodok oleh Pemerintah Pusat dan Legislatif. RUU ini masuk secara secara tiba-tiba ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014.
Paradoks tersebut terlihat dari regulasi pemerintah dan kebijakan yang tumpang tindih atau bertentangan di tingkat pemerintah pusat dan antar kementerian. Di satu sisi, pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengimplikasikan bahwa produk tembakau memiliki sifat merugikan, sehingga harus dikendalikan. Namun di sisi lain, pemerintah melakukan kebijakan yang bertentangan dengan pengendalian tembakau. Inkonsistensi dalam penentuan kebijakan ini terjadi tidak hanya di tingkat eksekutif namun juga pada pemangku kepentingan pemerintahan lainnya.
RUU pertembakauan ini dinilai lebih mencerminkan aspirasi industri rokok ketimbang kepentingan perlindungan kesehatan publik. Beberapa isu yang mengemuka dalam RUU Pertembakauan adalah :
Setiap pengelola KTR wajib menyediakan tempat khusus untuk mengkonsumsi produk tembakau (pasal 54) dan apabila tidak menyediakan tempat khusus akan dikenai sanksi administratif (pasal 55). Tidak adanya penjelasan tentang pemisahan tempat khusus merokok dan tempat bebas dari asap rokok. Tentu hal ini akan berdampak buruk pada kesehatan perokok pasif, yang mayoritas adalah perempuan dan anak-anak (Kompas, 28 Juni 2013).
Upaya meningkatkan pengembangan Industri Hasil Tembakau (IHT) oleh pemerintah sebagai upaya memenuhi kebutuhan tembakau di dalam dan luar negeri melalui standarisasi Nasional Indonesia (SNI) dengan pemberian bantuan penyediaan prasarana pertanian dan sarana produksi pertanian yang diperlukan oleh Petani Tembakau.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban dan wewenang untuk : menetapkan harga dasar tembakau di tingkat petani tembakau, memfasilitasi kemitraan antara petani dan pelaku usaha, membantu distribusi dan tata niaga tembakau yang dihasilkan oleh petani, melestarikan keberadaan kretek yang merupakan salah satu warisan budaya Indonesia, membentuk dan mengembangkan pasar khusus komoditas tembakau.
Iklan dan promosi rokok dapat melalui media cetak, media elektronik, media luar ruang, media online dalam jumlah terbatas dan waktu tertentu.
Pengecualian pencantuman informasi tentang kandungan kadar tar dan nikotin untuk produk tembakau berupa kretek, cerutu, rokok daun, dan tembakau iris.
Pemerintah tampak mengutamakan kebijakan dan aksi yang bersifat ekonomi jangka pendek, dengan mendorong peningkatan produksi dan kurang memperhatikan dampak jangka panjang yang akan dihasilkan oleh rokok dari segi kesehatan, perilaku masyarakat, ekonomi, dan pendidikan terutama pada remaja. Berbagai kebijakan tersebut menunjukkan adanya perbedaan kepentingan antara ekonomi dan sosial. Jejak industri tembakau ke banyak lapisan masyarakat maupun pemangku kepentingan telah membuat banyak pihak merasa bergantung pada industri tembakau. Di tingkat Nasional, penerimaan negara dari cukai rokok dinilai cukup signifikan berperan dalam pemasukan negara. Sedangkan di tingkat daerah, besarnya pemasukan yang didapatkan dari Pajak Rokok Daerah seringkali pula menyebabkan kesan ketergantungan pendapatan daerah pada variabel pemasukan ini. Pada sektor pembangunan lain, industri tembakau menawarkan beasiswa pendidikan, dan sponsorship untuk berbagai kegiatan kesenian dan hiburan yang digemari masyarakat umum, yang terbukti menambah kelompok target untuk bergantung kepada industri tembakau.
Dampak RUU Pertembakauan terhadap impelementasi KTR di Kota Bogor :
– Masuknya iklan dan promosi rokok dapat melalui media cetak, media elektronik, media luar ruang, media online yang menyebabkan konsumsi rokok di masyarakat semakin meningkat terutama pada perokok pemula/ remaja. Hal ini menyebabkan implementasi Perda No.1 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan reklame tidak efektif.
– Penerapan KTR tidak efektif, karena setiap pengelola wajib menyediakan area merokok sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.a
Tidak tercantumnya zat (nikotin dan tar) pada semua jenis rokok beresiko masyarakat mengkonsunsumsi narkoba dan zat adiktif lainnya.
– Meningkatnya jumlah penyakit tidak menular terutama penyakit akibat dampak asap rokok sehingga biaya kesehatan meningkat.
– Tidak terlindunginya hak azasi maunisa (HAM) khususnya masyarakat kota Bogor untuk mendapatkan lingkungan yang sehat sebagai upaya melindungi kesehatan publik.
Pemerintah Kota Bogor adalah salah satu kota yang memiliki komitmen kuat untuk berpihak kepada kepentingan masyarakat serta generasi muda terhadap kesehatan publik dan HAM serta berupaya untuk mengharmonisasikan sejumlah peraturan dan kebijakan dengan semangat pengendalian tembakau.
Keberhasilan penerapan KTR di Kota Bogor adalah keberhasilan kita semua, perlu sinergitas dan komitmen yang kuat dari semua para pelaku kepentingan mulai dari Pemerintah, swasta dan masyarakat baik secara perorangan, kelompok maupun lembaga/organisasi.
Kota Bogor saat ini sudah menjadi salah satu percontohan penerapan KTR di Indonesia dan dianggap berhasil dalam implementasinya walaupun untuk kepatuhan masih belum optimal. Banyak sekali kab/kota se Indonesia yang sudah studi banding untuk belajar tentang penerapan KTR di Kota Bogor. Oleh karena itu, sudah sewajarnya sebagai warga yang sangat mencintai Kotanya, kita bersama-sama mewujudkan Kota Bogor yang sehat dan nyaman tanpa asap rokok melalui penerapan KTR di 8 kawasan.
BOGOR PASTI BISA !!!
-
Berita Populer3 weeks ago
Hanif Faisol Minta Laboratorium Kementerian LH/BPLH Harus Terintegrasi Dan Tersebar
-
Featured3 weeks ago
Menteri LH Hanif Faisol Bakal Stop Impor Sampah Plastik, Importir Bandel Akan Ditindak Tegas
-
Editorial3 weeks ago
Pastikan Ujicoba Jalur Pipa Bogor Barat Berjalan Mulus, Direksi Tirta Pakuan Cek Debit dan Tekanan Air
-
Entertainment2 weeks ago
Promo KTP Diperpanjang, Masuk The Jungle Hanya 50 Ribuan
Login dulu untuk mengirim komen Login